Seperti Film Mai, Membuang Cinta yang Menyenangkan dan Berpikir Realistis

 

Tulisan ini nantinya bakal ada spoiler dikit tentang sebuah film. Dikasih tahu di depan agar waspada karena siapa tahu spoiler yang aku berikan terlalu banyak nantinya. Intinya ingin menulis apa yang ada di pikiran ketika melihat film ini dan mencocokkannya dengan apa yang ada di kehidupanku sekarang.

Mai, sebuah film drama romantis dari negeri tetangga, Vietnam. Film ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Mai yang terpaksa menjadi single mom yang belum menikah meski usianya sudah hampir berkepala empat. Single mom yang membuang persoalan percintaannya demi masa depan keluarga kecilnya.

Masalah dimulai dari pekerjaannya yang hanya menjadi seorang terapis pijat di sebuah tempat yang kebanyakan pelanggannya adalah pria. Banyak sekali yang menggodanya, tapi tak pernah ditanggapi. Lalu, masalah berikutnya adalah ayahnya yang suka sekali judi sampai terlilit utang. Ayahnya akan meminta uang kepadanya jika sudah terhimpit. Belum lagi masalah anaknya yang putus sekolah.

Klimaksnya ketika dia jatuh cinta kepada seorang pria yang lebih muda darinya bernama Duong. Ternyata, Duong adalah anak orang kaya yang merupakan teman baik Mai. Mai menganggap orang tua dari pria tersebut seperti kakak. Orang tua Duong tidak mau Duong bersama dengan Mai karena masalah Mai yang begitu banyak.

Mai memilih untuk berpisah dari Duong dan meminta Duong untuk mencari kebahagiannya yang lain, jangan menunggunya, karena mereka bertemu di waktu yang salah. Mai tidak mau Duong bersusah payah hanya demi mendapatkannya. Begitu juga Mai, tidak mau keluarga Duong memiliki reputasi yang buruk ketika dia masuk sebagai salah satu anggota keluarganya.

Empat tahun kemudian mereka kembali berjumpa. Mai dengan pekerjaannya yang mapan, sudah bisa memenuhi kebutuhan anaknya dan Duong yang sudah beristri dan melihat orang tuanya bahagia. Plot twist-nya adalah Mai mengaku kalau dia sudah punya pacar padahal dia belum punya. Ending yang menyedihkan, tapi hidup tetap terus berjalan.

Aku merasa sedih pada Mai yang rela meninggalkan kesenangannya agar orang-orang di sekitarnya tidak tersakiti. Rela banting tulang demi keluarga kecilnya. Meski pun kadang ada beberapa part yang dia kesal dan marah, tapi dia tetap tak bisa berbuat apa-apa seolah-olah itu adalah takdirnya.

Setelah menonton itu, aku merasakan hal serupa, tapi bukan soal percintaan. Ada pesan yang aku tangkap dari film tersebut. Pesannya adalah meski pun nantinya kita berhasil mencapai suatu hal, harus ada pengorbanan. Entah itu melepas sesuatu yang kita inginkan, yang kita butuhkan, yang kita dambakan. Memang kejam, tapi begitulah jalannya waktu.

Kelihatannya aku terlalu bersenang-senang dengan apa yang aku gandrungi sekarang. Tidak bisa membuatku kaya dan mungkin di sisi lain aku terlalu membebani pundak mamaku. Entah kenapa, aku memang sudah memikirkan ini sejak lama. Mungkin aku akan fokus bekerja setelah Final Sucros di Kediri. Aku masih akan standup, tapi tidak untuk mencari uang dari standup karena aku sadar akan kemampuanku dan apa yang aku peroleh selama sepuluh tahun ini.

Aku bisa saja memenangkan egoku yang satu ini, tapi sudah pasti banyak yang tersiksa karena itu. Bagaimana biaya pendidikan adikku? Bagaimana aku bisa membahagiakan mamaku kalau penghasilan dari standup ini tidak bisa menghidupi keluargaku? Aku seperti sudah siap melepas standup sebagai ujung tombak yang aku miliki dan lebih memilih standup sebagai hiburanku semata agar tetap waras.

Aku siap jika nantinya hanya menyaksikan teman-temanku yang masih berjuang di dunia standup ini lebih sukses dariku. Mungkin ini memang bukan jalanku saja. Aku hanya memaksa untuk berjalan di jalan yang tandus dan gersang ini tanpa berpikir panjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA JANGAN-JANGAN...

NRIMO ING PANDUM ALA THE JEBLOGS

Pencapaian Tahun Kemarin