Dihargai
Kadang waktu tampil standup, ada perasaan yang tidak enak dan mengganjal. Perasaan itu timbul ketika tatapan orang-orang mulai sinis. Sebuah tatapan yang memberikan teror bagi komika yang berusaha tampil dengan baik. Tatapan yang seolah-olah tidak percaya bahwa komika yang sedang tampil ini tidak mampu membuatnya tertawa.
Sudah memberikan sebuah tembok yang besar dan megah
yang sulit dicari celahnya oleh komika. Jika sedari awal sudah membangun sebuah
tembok, bagaimana caranya si komika penampil ini tidak tersepelekan? Apalagi
ada perbandingan yang keluar dari mulutnya seperti komika penampil tersebut
cuma komika daerah yang bayarannya tidak seberapa dan bisa dipastikan tidak
lucu. Tembok yang sedemikian megah tersebut sulit untuk dirobohkan karena tidak
ada secuil ventilasi di benak mereka untuk intip sebentar. Lantas dengan cara
berpikirmu yang seperti itu apakah pantas menyamaratakan? Bagaimana cara komika
daerah ini agar berkembang pesat seperti idolamu itu?
Sebenarnya, bagi saya yang sering berada di posisi
tersebut, saya juga merasa kesal. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa yang
paling penting adalah dibayar. Tidak, tidak seperti itu. Menurut saya seni ini
lebih dari pada uang. Meski pun bayarannya sudah sesuai, tapi saya ada dalam
posisi persis seperti yang saya ceritakan di atas, saya akan merasa kesal.
Jika disuruh memilih job dengan bayaran yang luar
biasa tapi seluruh tatapan penonton seolah menyepelekan atau show berbayar yang
bahkan mungkin tidak ada untungnya, mungkin saya akan memilih yang kedua.
Kenapa? Tidak ada tatapan sinis, mereka siap tertawa kapan pun, dan mereka
memang datang dengan niatan mencari hiburan.
Orang yang datang karena mencari hiburan berbeda
dengan orang yang sedari awal sudah menantang “Hibur aku kalau bisa!”
Benar-benar tulus tawanya, terjadi keterikatan antara komika dan mereka yang
mencari hiburan, mendengarkan secara seksama, dan tidak ada yang merugi.
Bahkan, kalau diizinkan, saya ingin terus naik di panggung show berbayar. Ada
rasa puas secara batin.
Mungkin banyak yang beranggapan bahwa penampil
harusnya mampu mengendalikan keramaian. Tapi apa yang mau dikendalikan kalau
mereka saja tidak mendengarkan satu kata pun yang diucapkan komika yang sedang
berada di depan? Maka dari itu, setiap ada tawaran, saya selalu memilah. Siapa
penontonnya? Berapa orang? Acara apa? Bagaimana panggungnya? Mungkin terdengar
rempong, tapi itu yang bisa saya lakukan agar batin saya juga puas.
Aslinya, dalam standup sendiri haram hukumnya komika
menyalahkan penonton. Jika ada komika lain yang membaca tulisan ini, saya mohon
maaf sebesar-besarnya. Jangan dijadikan contoh karena apalah saya yang lucunya
memang tidak seberapa ini. Ini semua murni unek-unek yang ada di pikiran
setelah berkali-kali mengalami.
Komentar
Posting Komentar