Tak Satu pun yang Mendengar, Buat Apa?
Sudah beberapa kali aku mendapatkan tawaran untuk
mengisi di sebuah acara perusahaan-perusahaan atau instansi besar. Bayaran yang
didapatkan dari itu semua sangat-sangat besar bagiku yang merupakan seorang
komika amatir. Siapa yang tidak tergiur dengan hal tersebut? Banyak komika yang
mengatakan kalau yang penting dapat uangnya, jika tidak lucu bisa langsung
pulang. Sayangnya aku tidak bisa seperti itu. Aku merasa kalau cuma dibayar dan
tidak lucu seperti ada rasa yang mengganjal.
Bagi beberapa komika, gagal ketika diberi job oleh
perusahaan atau instansi besar itu sudah biasa. Seperti makan di sebuah tempat
yang ketika enak, ya, bersyukur dan jikalau tidak pun penting masih bisa makan.
Kebanyakan dari mereka berpikir yang penting dibayar, sisanya pulang. Aku ingin
juga melakukan hal yang sama, melupakan semua yang terjadi di atas panggung
dengan langsung pulang, tapi aku tidak bisa. Bukan tidak bisa pulang, tapi
lebih ke ada perasaan yang mengganjal. Aku berpikir harusnya aku bisa
menghibur, meski tidak semua orang tetawa. Minimal ada interaksi ketika aku
sedang berada di atas panggung.
Memang, panggung job corporate ini sangat-sangat
tricky. Banyak skill yang harus dikeluarkan agar bisa mendapatkan sebuah atensi.
Bagi komika besar yang sudah mempunyai nama saja kadang mereka harus merangkak
terlebih dahulu sebelum bisa membuat semua yang ada di sana tertawa dengan
jokes-nya. Aku yang seorang amatir pun sama, malah kadang dalam sebuah
penampilan bisanya cuma merangkak saja.
Terus belajar dari beberapa kesalahan agar bisa
lebih baik ke panggung corporate berikutnya. Mulai dari belajar untuk
memberanikan diri me-riffing pimpinannya, menuliskan materi yang ada kaitannya
dengan mereka, dll. Semua hal sudah dilakukan dan ada beberapa yang berhasil.
Sayangnya, panggung corporate terakhir membuatku
mati di atas panggung. Sungguh mati. Jadwal yang berantarakan gara-gara mereka
terlambat, harusnya standup jam setengah delapan malam yang akhirnya molor
sampai jam sepuluh malam, dan tampil sebelum penampil utama yang merupakan band
papan atas Ibu Kota. Benar-benar mati di atas panggung karena yang ada di
hadapanku sudah tidak sabar menantikan band besar Ibu Kota ini. Salamku tak
terjawab, setiap berusaha mengajak interaksi tidak ada yang memberikan
atensinya, akhirnya cuma bicara sendiri satu arah.
“Alah, uangnya, kan, besar itu. Udah, nggak usah
terlalu dipikir.” Tidak. Masih kepikiran sampai sekarang. Kayak, semisal tidak
mau mendengarkan keluh kesahku atau ceritaku, mending tidak usah saja sekalian.
Salam saja tidak dijawab, lalu harus apa aku berada di atas panggung? Menari
api?
Aku tidak bisa mengeluarkan uneg-uneg dengan baik.
Bingung melampiaskan ini dengan menulis sebuah tulisan yang acak-acakan ini.
Komentar
Posting Komentar