Watch and Learn

 

Sudah menekuni standup selama hampir sepuluh tahun. April 2024 besok akan menjadi tahun kesepuluh saya berenang di lautan standup ini. Sudah banyak pengalaman yang saya terima selama sepuluh tahun ini, mulai dari yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakan bagi saya. Semuanya melebur menjadi satu, membuat perasaan suka dan mencintai seni ini tumbuh begitu saja. Sangat sulit bagi saya apabila disuruh atau dipaksa untuk berhenti atau keluar dari lingkaran ini. Meski pun sudah tidak ada peluang untuk lolos dan membawa nama Madiun ke kancah nasional di televisi, masih ada rasa ingin menggembleng beberapa komika baru yang ada di komunitas saya. Semoga saja masih diberi kesempatan untuk itu.

Bermula dari April 2014, setelah Ujian Nasional SMP, mencoba gabung ke komunitas dan melakukan open mic untuk pertama kali di luar kandang. Karena sebelumnya saya sudah pernah standup di SMP saya sendiri, tapi  kalau dilihat dan diperhatikan memang tidak lucu-lucu banget. Karena pada waktu itu saya masih awam dengan cara menulis dan bagaimana cara meng-handle crowd yang tidak mengenal saya. Apalagi setelah nyemplung ke komunitas, benar-benar mata saya dibukakan dengan realita yang ada di dalam komunitas ini.

Perasaan pertama kali open mic sebagai orang asing yang kikuk, kaku, serta tidak berani mengerahkan volume suara yang keras adalah evaluasi pertama saya. Walau pun Kakak saya adalah salah satu dari tiga founder komunitas, bukan berarti saya mendapatkan sebuah hak istimewa ketika bergabung dengan perkumpulan ini. Sebagai orang baru, hal-hal seperti tidak diajak bicara dengan siapa-siapa karena takut dibilang sok asik, menjaga attitude atau sikap dan perilaku yang baik terhadap orang yang sudah lebih dulu berada di komunitas, dan lain sebagainya. Hal yang wajar bagi orang-orang baru yang mau masuk ke komunitas.

Kenapa merasa sungkan kepada para senior di komunitas? Karena skill mereka sudah teruji dan terbukti untuk melucui khalayak ramai. Memang aneh ketika  lucu adalah patokan di komunitas ini, tapi memang skill itu sangat nyata. Apalagi yang bisa kamu pamerkan dan kamu bagikan ilmunya selain ilmu lucu di komunitas ini? Sudah banyak juga cerita dari beberapa komika yang mengalami hal serupa. Cerita di mana mereka harus mencapai titik lucu agar mendapatkan notice dari senior.

Itu baru ukuran komunitas daerah, ada gap atau jarak di antara senior dan junior. Belum lagi jarak di antara komika yang sudah besar namanya dengan komika yang belum terendus sama sekali namanya ke permukaan. Bukan berarti sebagai senior mereka-mereka ini semena-mena, tapi ini cuma sebagai pengingat kalau ilmu itu jadi patokan untuk berperilaku. Makanya, saya sempat bilang kalau masuk ke komunitas ini benar-benar membukakan mata saya. Ini sudah seperti hutan belantara yang di isi berbagai hewan buas, mulai yang kecil sampai besar. Sedangkan orang yang baru bergabung ini mungkin levelnya masih seperti larva.

Sebagai orang baru, lebih baik sering mengamati mereka agar dapat mengambil sisi baik yang bisa diambil dan dikembangkan sebagai seorang komika nantinya. Tidak lucu dalam sebuah kesempatan jangan sampai membuat motivasi menjadi turun. Apa yang sudah diamati coba dimasukkan ke dalam materi yang dipunya dan coba lagi di kesempatan berikutnya. Ikuti alur itu terus sampai akhirnya bisa menemukan sense of humor, delivery, sadar panggung, dan juga ketenangan.

Saya melakukan hal-hal tersebut berkali-kali. Mengamati para senior ketika mereka sedang berkumpul, bercengkrama sambil bercanda, melihat cara mereka melakukan tek-tokan untuk menghasilkan sebuah jokes, melihat timing mereka dalam melempar sebuah jokes, memperkirakan reaksi mereka ketika jokes tidak bekerja, melihat cara mereka handling jokes yang tidak bekerja, dll. Sebagai orang baru di komunitas dulu, cuma itu hal yang bisa dilakukan. Belum seperti sekarang yang ketika menuliskan bagaimana cara belajar stand-up comedy di pencarian youtube langsung keluar beberap vidio.

Hasil pengamatan tadi dicoba ke beberapa materi yang dimiliki. Lalu, dibawakan ke open mic, dengarkan evaluasi dari para senior, coba menulis ulang materi agar semakin matang, bawakan lagi ke open mic, begitu terus. Stand-up comedy ini memang tidak bisa hanya sekadar punya jokes, tapi juga harus dibawakan ke depan panggung, didengarkan banyak orang. Punya banyak teori dan teknik, tapi jarang melakukan open mic itu percuma. Banyak ilmu yang nantinya didapatkan justru ketika berada di atas panggung.

Setelah merasakan beberapa kali hasil memuaskan ketika open mic, senior-senior komunitas mulai memberikan kesempatan bagi saya untuk merasakan panggung show. Sebuah panggung yang berbeda dengan panggung open mic. Panggung yang memberi presure ke komika agar materinya bekerja dengan baik, tidak mengecewakan penonton yang sudah membayar tiket, tidak mengecewakan senior-senior yang sudah memberi kesempatan, tidak mengecewakan diri sendiri dengan tampil semaksimal mungkin. Mulai mengerti sebuah ritual yang hanya bisa dilakukan sebelum show dimulai. Merasakan adrenalin yang naik-turun tidak menentu. Ternyata panggung show bisa memberikan tekanan sehebat itu kepada seseorang yang niatnya cuma mau menghibur.

Satu show sudah dilalui. Pernah merasakan besar kepala ketika show tersebut bisa membuat saya puas. Padahal tantangannya adalah setelah itu. Berat. Konsisten itu berat. Harus beberebut jatah dengan komika lain untuk unjuk gigi di show-show berikutnya. Meski mereka ini cuma hewan-hewan kecil, mereka seperti tidak mau mengalah untuk mendapatkan daging yang dimau. Kedatangan larva yang tiba-tiba menggelegar saja sudah membuat hewan-hewan kecil ini tidak berhenti untuk melancipkan taringnya. Sebuah persaingan sehat untuk berebut siapa yang layak untuk diberi kesempatan merasakan panggung show lagi.

Perjalanan tidak selalu mulus, ada saja hambatan yang bisa membuat saya down. Karena pernah pada suatu show, bisa dibilang saya nge-bomb dan lebih baik bunuh diri di panggung. Rasa itu terus menghantui. Bahkan terus mengikuti ketika mau menulis. Terus memikirkan hal yang tidak ada jawabannya kalau tidak segera dicoba. Dibutuhkan tekat yang kuat untuk kembali lagi ke jalan yang sudah diarungi sebelumnya. Masa peralihan dari berhenti sejenak dan menunjukkan diri lagi adalah masa-masa yang perlu effort sangat besar.

Terus melakukan show-show di kota sendiri. Terus bermimpi menjadi salah seorang komika yang akan membawa nama Madiun ke televisi. Sampai akhirnya kesempatan besar datang. Panggung Jambore Standup 2019 di Malang. Sebuah panggung besar yang penontonnya benar-benar penikmat standup dan dihadiri juga oleh beberapa komika besar Ibu Kota. Sebuah panggung yang nantinya akan mengubah jalan cerita ini. Panggung yang benar-benar terlalu menyilaukan buat saya yang cuma seorang komika daerah, masih belajar dan berproses bersama senior-senior di komunitas daerah.

Memberanikan diri untuk mengiyakan kesempatan tersebut. Terus dibimbing para senior sebelum berangkat. Terus dipompa motivasi, terus diberi arahan, dan terus seperti itu. Hingga hari itu tiba. Hari di mana komika kecil seperti saya menginjakkan kaki ke panggung sebesar itu. Panggung yang semua komika kecil seperti saya pasti ingin bisa berdiri di atasnya. Sebuah pengalaman yang hebat. Bertemu dengan komika-komika besar, melihat mereka ketika sedang tidak berada di depan kamera. Benar-benar hebat.

Sepulang dari sana, banyak sekali beban yang harus saya pikul. Semenjak itu saya sudah tidak bisa komika kecil lagi. Banyak yang beranggapan kalau saya ini adalah seekor monster. Banyak yang berekspektasi lebih ke saya setelah panggung itu. Pundak saya terasa berat sekali. Berat. Apalagi ketika beberapa senior yang selama ini membimbing saya sudah disibukkan dengan dunianya, saya jadi tidak punya tempat untuk meminta tolong. Saya akhirnya juga memikul beban menjadi senior di komunitas. Semuanya begitu cepat terjadi, tidak terasa prosesnya, tiba-tiba saja terjadi.

Mulai merasakan bahwa sebenarnya tidak pantas disetarakan dengan monster karena pikir saya memang belum selevel dengan itu. Banyak yang berharap lebih untuk lolos ke televisi karena mereka tahu ilmu yang saya miliki lumayan banyak, tapi saya merasa bahwa ilmu yang saya miliki ini belum seberapa. Terus mengelak dari panggilan itu, mengurung diri.

Banyak gejolak yang terjadi gara-gara hal tersebut. Membuat saya memberanikan diri untuk menunjukkan diri ke luar. Mulai dari mengikuti audisi televisi, sampai ikut ke lomba-lomba antar komunitas. Satu hal yang pasti, sekarang saya merasa banyak orang sedang menyoroti saya. Banyak yang sedang mengamati saya ketika saya sedang standup. Banyak orang yang ingin tahu lebih dalam tentang standup dengan mengobrol dengan saya.

Dan saya juga baru sadar pada waktu itu bahwa banyak juga ternyata yang bisa saya bagikan ke mereka. Saya juga tidak menyangkan mereka benar-benar mendengarkan apa yang saya sampaikan berdasarkan pengalaman yang saya miliki. Padahal, saya bukan komika besar atau seekor monster yang setiap berada di panggung bisa membawakan jokes dengan baik. Tidak. Saya juga bisa gagal. Tapi, mereka tetap menganggap saya seperti itu.

Saya merasa waktu sangat cepat sekali berputar. Tidak terasa ketika dulu saya yang sering mengamati orang, belajar dari orang, sekarang malah kebalikannya. Banyak yang bilang bahwa saya sudah seharusnya berada di level komika besar, tapi sayangnya saya sudah tidak begitu berharap untuk mencapai itu. Saya cuma bisa berharap bahwa kalian-kalian yang masih punya mimpi itu untuk terus mengejar. Saya siap membantu kalian semampu dan sebisanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA JANGAN-JANGAN...

NRIMO ING PANDUM ALA THE JEBLOGS

Pencapaian Tahun Kemarin