Street Laughter Volume Enam
Sebagai komika daerah, terutama di Madiun,
bener-bener membutuhkan yang namanya penonton. Entah waktu show berbayar atau
hanya waktu open mic alias latihan. Permasalahan di hampir setiap komunitas
daerah adalah tidak ada penonton yang berminat menonton mereka baik di show
berbayar dan di open mic. Terkadang hal tersebut menjadi batu penghalang bagi
komunitas daerah yang ingin berkembang.
Harus disadari memang kadang di open mic beberapa
komunitas daerah, biasanya ada open mic yang zonk. Maksudnya? Open mic yang
seluruh penampilnya nge-bomb alias tidak lucu. Mungkin hal tersebut yang
menjadi pemicu para penonton malas untuk menonton komika-komika daerah walau
hanya sekadar open mic.
Kondisi tersebut membuat komika daerah berada jalan
yang bercabang. Antara ingin menyerah alias berhenti atau ingin mencoba ke kota
besar yang komunitasnya punya penonton setia. Karena ada beberapa komika daerah
yang masih ingin mencoba materinya sendiri yang tidak ditonton tersebut
dibawakan ke depan penonton yang siap menonton stand-up comedy.
Hal tersebut juga terjadi pada diriku sendiri,
komika daerah dari komunitas Madiun. Bukan merasa mentok karena tidak ada yang
menonton, kadang juga kebingungan karena pas open mic lucu pun tidak ada
penontonnya. Hehehe. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mengikuti Street
Laughter, sebuah lomba antar komika yang diselenggarakan komunitas Standupindo
Surabaya.
Jujur, sebenarnya malu juga mengikuti kompetisi
tersebut karena kebanyakan pesertanya adalah komika baru. Sedangkan aku
hitungannya bukan komika baru hahaha. Sudah tau dan uzur. Aku ikut pun bukan
untuk mencari gelar juara alias trophy hunter, lebih ke pengen ditonton. Tidak
hanya itu, kompetisi ini juga menggunakan format mentor yang barang kali
ilmunya bisa aku teruskan ke komunitasku sendiri, Standupindo Madiun.
Street Laughter ini sudah berjalan enam kali dan aku
mengikuti dua volume terakhir. Volume lima diselenggarakan pada tahun lalu dan
diikuti banyak peserta. Aku yang sudah lama tidak terbiasa dengan lomba
stand-up ini pun merasa keteteran. Bisa dilihat dari klasemen terakhir grup B,
aku berada di peringkat ke 11. Bisa dibilang kalau hasil stand-up
bertahun-tahun ini mentok cuma sampai di situ. Tapi, tidak masalah. Namanya
belajar. Ada ilmu yang didapat dan bisa aku sebar ke teman-teman komunitasku.
Tahun depan, Street Laughter Volume Enam ada lagi.
Komunitasku dapat jatah dua orang untuk mengikuti kompetisi itu. Aku ikut lagi
karena memang kebetulan belum ada teman komunitasku yang bisa. Tidak sendiri,
ada satu anggota komunitasku yang juga ikut dalam kompetisi ini. Kami mengisi
dua slot yang diberikan.
Jujur, pada Street Laughter kali ini aku juga
menggunakan mode nothing to lose aja. Apa yang aku bisa, apa yang selama ini
aku pelajari, aku gunakan saat kompetisi ini. Hasilnya, di putaran pertama aku
berada di peringkat ke lima. Tidak buruk, tidak juga dibilang bagus karena
selisih poinnya lumayan jauh waktu itu. Masih ada kesempatan di putaran kedua
untuk memperbaiki.
Putaran kedua Street Laughter Volume Enam waktu itu
temanya film. Karena bingung ingin membahas film apa, aku membahas seputar
nonton bareng film G30SPKI di Kota Madiun. Aku menceritakan perbedaan antara
kejadian di film itu dan kejadian PKI di Madiun tahun 1948. Sedikit ngasih info
aja karena selama ini banyak yang salah paham. Tidak tahunya malah masuk tiga
besar dan dinyatakan lolos ke Final untuk mewakili grup B.
Masih tidak percaya waktu itu bisa masuk ke Final
Street Laughter. Rasanya seperti mimpi. Kalau bisa diibaratkan, mungkin ibarat
pemain bola yang sudah tua, yang sedang membimbing pemain mudanya di sebuah
klub bola, yang tiba-tiba berada di Final kompetisi besar seperti Champions
League.
Aku juga tidak mengerti apa yang membuatku bisa
masuk Final. Tapi, karena sudah masuk, aku cuma berpikir lakukan saja yang
terbaik. Mulai dari membuat materi sampai larut malam, mencoba mengulik teknik
seperti roasting, callback, dan impersonate
yang menjadi salah satu tantangan di Final.
Agak bingung juga dalam proses membuat materi karena
tema di Final adalah kesehatan mental. Kalau boleh jujur, dalam membuat materi
ini mentalku kocar-kacir. Hahaha. Bolak-balik tidak bisa tidur, bolak-balik
menulis materi dan merasa tidak pas atau cocok untuk Final akhirnya
dihapuslagi, dan hal-hal lainnya yang mengganggu pikiran. Bahkan aku merasa
bahwa bebanku di Final kali ini berat sekali. Banyak orang yang berharap aku
bisa menjadi juara di Final. Perasaan campur aduk yang takut bagaimana perasaan
orang-orang yang menjagokanku kecewa dengan apa yang aku suguhkan di Final.
Stres sendiri.
Akhirnya hari Final pun tiba. Mempertemukan enam
finalis. Ada Haris, Pak Yusub, dan Lukman dari grup A serta aku, Patrick, dan
Noki dari grup B. Menurutku, mereka semua meski pun masih baru di stand-up,
mereka sudah mempunyai warna sendiri dan mempunyai persona alias karakter. Aku
merasa kalau dari keenam finalis ini cuma aku sendiri yang tidak punya persona
dan warna. Aku merasa bahwa aku cuma bermodalkan delivery materi yang kuat
saja. Minder sendiri.
Hari itu, sialnya aku menjadi penutup alias peserta
yang tampil paling terakhir dari keenam peserta. Keringat dingin, pucat, tidak
nyaman, semua perasaan menjadi satu waktu itu. Benar-benar mental yang payah
ketika dalam sebuah pertarungan seperti ini. Tidak baik untuk ditiru.
Aku lupa, siapa yang bilang ini sebelum aku perform.
“Jangan lupa kalau di panggung harus fun, harus bersenang-senang, karena ini
panggungmu. Kalau kamu tidak senang, bagaimana dengan yang menonton?” Mendengar
itu aku langsung merubah persepsiku terhadap Final ini. Aku merasa bahwa aku
tidak harus juara, tidak harus mengalahkan yang lain, karena yang paling penting
adalah tujuanku, yaitu belajar, mengerahkan semua yang sudah diajarkan, dan
menghibur.
Tampi dengan modal nothing to lose. Mungkin
satu-satunya peserta yang melakukan story telling di Final Street Laughter
kemarin. Aku cuma ingin membuat penonton ikut merasakan apa yang aku rasakan.
Aku menceritakan tentang ketegangan yang terjadi ketika aku mendapatkan tawaran
stand-up di hadapan bapak-bapak TNI AU. Aku bersyukur ternyata penonton ikut
menyimak, ikut merasakan, ikut tertawa bersama dengan ceritaku yang isinya
kesialanku.
Aku mengingat beberapa komentar juri pada malam itu.
Mas Karjo bilang kalau materi yang aku bawakan ini rapi, rapi sekali. Pak
Yudhit juga mengatakan hal yang sama, Pak Yudhi sampai mengatakan bahwa
komika-komika yang ingin belajar menulis bisa belajar di aku. Mas Nopek,
seniorku, mengatakan kalau seharusnya aku sudah tidak perlu megikuti kompetisi
seperti ini lagi. Harusnya aku sudah berada di atas ini. Mendengar komentar
juri pada waktu itu rasanya senang, haru, bahagia jadi satu. Terima kasih
masukannya, akan aku coba pertahankan dan kembangkan lagi kalau masih diberi
kesempatan.
Saat pengumuman juara, aku kaget karena dinobatkan
sebagai juara ketiga Street Laughter Volume Enam. Aku kaget karena aku tidak
menyangka juaranya adalah aku. Padahal, sebelum aku tampil ada beberapa peserta
yang aku rasa jumlah tawa dan ledawakan tawa yang dihasilkan jauh melebihi aku.
Street Laughter kali ini benar-benar gila untukku.
Hal-hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya bisa aku rasakan di sini
Aku cuma ingin berterimakasih untuk komunitas
Standupindo Surabaya karena sudah memberi fasilitas untuk komika daerah
sepertiku dan teman-teman yang lain untuk mencoba dan belajar bersama. Aku juga
berharap apa yang aku lakukan ini nantinya akan berdampak pada komunitasku
sendiri.
Itu saja sesi celoteh kali ini. Terima kasih sudah
mau membaca sampai akhir.
Komentar
Posting Komentar